...Selamat Datang di Website Resmi Gereja St. Ignatius Paroki Administratif Krapyak - Semarang, Media Informasi Umat dan Gereja. Alamat Jl. Subali No 8 Krapyak-Semarang. Silahkan krim artikel, saran dan kritik ke komsos_st_ignatius[at]yahoo[dot]co[dot]id..

Senin, 15 Agustus 2011

Tuhan Selalu Melindungi Aku

Saya adalah seorang ibu yang mempunyai 13 orang anak. Nama lengkap saya adalah Aminah dengan baptis Maria Magdalena, lebih dikenal dengan nama Ibu Trimo. Saya dilahirkan di Palembang 14 Maret 1935. Nama ayah saya, Mahsuli dari Aceh dan Ibu Warsiyah dari Semarang.
Saya menikah dengan Mikael Sutrimo saat usia saya 16 tahun. Meskipun belum menjadi Katolik, latar belakang pendidikan saya dari Katolik. Pada waktu itu, saya berbincang-bincang dengan bapak, tujuan saya hanya satu, yaitu ingin mengutarakan niat saya untuk pindah menjadi pengikut Yesus. Bapak pada waktu itu, tidak melarang saya, malah mengijinkan, asalkan saya harus sungguh-sungguh dan jangan buat main-main. Alasan saya pindah, dikarenakan saya ingin mencari panutan.
Sekitar tahun 1948/49, saya lupa pasti kapan waktunya, bapak meninggal. Sewaktu bapak meninggal saya sudah menikah. Akhirnya sekitar tahun 1954, saya dibaptis dan resmi menjadi anggota gereja oleh Romo Purwo. Ketika itu saya sudah mempunyai 2 anak. Setelah itu, lahirlah anak yang ke-3 langsung dibaptis.
Kegiatan saya dan suami saya sewaktu di sumatra sering sekali mendampingi Romo/Uskup bila ada kunjungan. Hari-hari saya, saya habiskan untuk melayani gereja. Sewaktu pembangunan gereja di Padang, warga sekitar menentang dan tidak setuju. Banyak sekali halangan dalam pembangunan gereja tersebut. Saya dan teman-teman tidak pantang menyerah untuk mewujudkan rumah Tuhan. Setiap ada perayaan gereja, kita selalu mengundang warga sekitar untuk merayakan Natal dan Paskah bersama-sama. Tidak nampak sekali perbedaan diantara kami.

Tahun 1974, saya mengawali kehidupan baru kembali, dikarenakan suami pindah tugas di Semarang. Pada waktu itu suami mendapat jatah rumah di Jl. Hanoman. Selang setahun kemudian anak yang paling kecil lahir. Dua tahun menetap di Semarang, suami saya meninggal dunia karena sakit.

Saya pada saat itu ibarat hanya bisa “masak air”, mengapa saya sampai berkata demikian? Karena sewaktu suami masih hidup, saya tidak pernah sekalipun untuk memikirkan rumah tangga. Baik itu mengurus rumah, maupun anak-anak. Saya tidak bisa apa-apa. Dengan bimbingan Romo Bin dan dibantu beberapa anak saya yang sudah dewasa diajak untuk merawat adik-adik. Saya mau tidak mau, bisa tidak bisa, diharuskan untuk mengurus anak tanpa di dampingi oleh seorang kepala keluarga. Saya memang tidak berfikiran lagi untuk menikah, karena konsentrasi saya hanya untuk anak-anak.
Ya, hanya untuk anak. Saya berfikir, anak-anak lebih membutuhkan saya. Penghasilan keluarga saya hanya dari pensiunan dan tambahan les menjahit. Tidak menutup disela-sela waktu senggang, saya gunakan untuk menerima jahitan dari tetangga kanan-kiri. Dari semua penghasilan yang saya dapatkan, akhirnya bisa menopang kebutuhan rumah tangga dan menyekolahkan anak-anak sampai perguruan tinggi. Saya sempat heran lho, koq bisa........ (sambil tersenyum)

Di dalam benak pikiran saya, rasanya sulit sekali. Apakah mungkin bisa menghidupi anak sebanyak 13 orang, mendidik serta menyekolahkan mereka. Tuhan selalu melindungi aku, itulah kalimat yang selalu terlontar untuk mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yesus.

Anak-anak di rumah mempunyai tugas sendiri-sendiri. Begitu bangun tidur, semua sudah tahu tugas masin-masing. Siapa yang pulang sekolah lebih dulu, langsung mengerjakan atau beres-beres rumah, tanpa memandang, baik itu anak saya yang laki atau perempuan. Tidak cuci baju, ya tidak sekolah.
Ini ada kejadian lucu, salah satu dari anak saya bangunnya kesiangan. Kemudian saya bangunkan dengan cara mengguyur air. Si anak tersebut harus mencuci kasur sebelum berangkat ke sekolah. Anak-anak yang mau makan, ya harus masak dulu. Jadi ke-13 anak-anak saya bisa masak semua. 

Ada satu kejadian lagi, pada saat anak saya main perang-perangan dengan teman sebayanya, saya melihat sikap anak saya kurang sopan dalam bermain. Saya lalu bersiul dan anak tersebut menghampiri saya untuk pulang ke rumah. Sesampai di rumah, saya mengingatkan untuk selalu bersikap sopan santun di mana saja.
Kalau saya ingin memukul, itu benar-benar saya lakukan dan sudah sangat kerelaluan sekali. Watak dan sifat saya pada dasarnya adalah orang yang keras dan tidak sabar, dari watak dan sifat itulah, anak-anak lalu mengimbangi saya, dengan tidak melakukan perbuatan yang dapat membuat saya jadi marah.

Yesus merupakan pegangan saya untuk menambah kekuatan. Tuhan yang mengatur semua hidup saya.Anak-anak tidak banyak menuntut macam-macam. Kalau ingin kuliah, kalian harus naik bis, jangan minta macam-macam. Selain Iman, keteladanan orang tua juga perlu. Itu kalau dilihat dari segi manusiawi. Hal yang mendasari adalah percaya dan berdoa. Kita harus percaya dahulu kemudian berdoa.

Setelah anak-anak sudah dewasa, perjalanan hidup saya tidak juga berjalan dengan mulus dan lancar. Saya sempat mengalami shock, dikarenakan pertentangan batin sewaktu menikahkan anak saya bukan di gereja. Saya sempat melarikan diri ke Padang guna menenangkan diri. Saya merasa jengkel dan malu dengan umat di lingkungan, semua perasaan tersebut menjadi satu. Dahulu di sumatra, saya dan suami ikut mewartakan kabar gembira kepada semua orang. Akhirnya saya menenangkan diri. Saya mengambil sikap dengan menerima apa yang terjadi, karena saya melihat kehidupan anak saya yang bahagia dan tidak ada masalah. Yang paling penting adalah anak-anak masih menghormati saya sebagai orang tua. Anak laki-laki saya masih

Toleransi di dalam keluarga tinggi. Sewaktu hari raya Lebaran dan Natal yang kebetulan berdekatan, kita kumpul bareng di rumah. Kami saling memberikan ucapan selamat hari raya kepada anak-anak yang merayakan. Salah satu contoh lagi adalah, waktu misa penerimaan sakramen perkawinan anak saya yang paling kecil di Gereja, anak-anak yang pindah agama menghadiri dan menghormati misa penerimaan sakramen tersebut di gereja.
Di usia saya yang genap 72 tahun, saya tetap disibukkan dengan kegemaran saya untuk merawat tanaman dan ikan hias. Kadang-kadang, sewaktu pergi ke di luar kota untuk mengunjungi anak dan cucu saya, saya selalu menanyakan kepada anak saya yang tinggal di rumah, apakah tanamannya sudah disiram, atau apakah ikan hiasnya sudah diberi makan. Itu tidak pernah lupa. Sampai-sampai anak saya Lucky heran, kenapa saya sewaktu pergi tidak pernah menanyakan cucunya yang paling kecil. Eh, malah yang ditanya koq tanaman dan ikannya.
Saya juga menggemari berbagai macam bunga yang saya jadikan untuk koleksi. Bunga tersebut harus yang lucu dan menarik.

Seperti dikisahkan kepada Team WKM
uyab

0 comments:

Posting Komentar

 
Modified by Team Komsos | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls