Pembicaran yang saya dengar akhir-akhir ini berkisar seputar keengganan beberapa orang Katolik (entah berapa jumlahnya, karena belum dilakukan penelitian) untuk datang ke gereja mengikuti misa, merayakan Ekaristi. Alasan yang dikemukakan antara lain karena kotbah yang disampaikan oleh si pengkhotbah membosankan. Mulai kotbah, katanya, mulai saat umat mengantuk. Kotbah membosankan, katanya, karena tidak kontekstual, tidak menyentuh hati umat serta tidak menyangkut masalah kehidupan umat. Apalagi cara penyampaiannya
monoton, tidak bersemangat. Mendengar pembicaraan seperti itu Ia diam saja, tetap sederhana dan rendah hati, hadir dalam hosti kecil, tersimpan dalam tabernakel.
Itulah sebabnya, katanya, mengapa banyak orang Katolik (entah berapa jumlahnya, karena belum dilakukan penelitian) menyeberang - seperti dulu pada zaman nabi Musa, mengadakan eksodus - ke gereja-gereja lain, agar dapat mendengarkan kotbah yang menyentuh hati, yang dibawakan berapi-api, penuh semangat. Apalagi, kegiatan keagamaan tersebut disemarakkan dengan paduan suara yang melantunkan lagu-lagu merdu, dan disertai tarian rebana dan kecapi. Sementara itu, diserukan agar sebagai orang beriman kita hendaknya menghayati iman dalam gerak dari altar ke pasar, dan dari pasar ke altar. Sayanglah, seruan itu dipahami atau disalahfahami sebagai ajakan untuk mengubah gereja menjadi pasar. Sudah lupalah orang akan kata-kata Tuhan, “….. jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan." (Yoh 2: 16). Meski demikian, mental bisnis telah mewarnai cara kita berelasi dengan Allah. Kita hitung untung rugi secara cermat, apa untungnya ikut misa, apa untungnya berdoa. Pola sikap “aku memberi, agar engkau memberi”, pola sikap “do ut des”, pola pasar telah merasuki cara beragama kita. Menyaksikan banyak orang Katolik menyeberang dari altar ke pasar, atau bahkan mengubah altar menjadi pasar, Ia tetap saja sederhana dan rendah hati, hadir dalam hosti kecil, tersimpan dalam tabernakel.
Bahkan dalam sejarah pernah ada orang-orang yang tidak percaya (entah berapa jumlahnya, karena belum dilakukan penelitian), mengajukan protes keras terhadap ajaran yang telah diimani oleh umat Kristiani selama berabad-abad, yaitu ajaran mengenai kehadiran nyata (Latin: realis presentia) Yesus dalam Ekaristi Sakramen Mahakudus. Maka muncullah kelompok-kelompok umat yang membangun gedung-gedung gereja tanpa melengkapi dengan tabernakel. Ruang berkumpul untuk mengolah firman dibangun, namun tanpa pusat yang mempersatukan. Meskipun muncul kerinduan supaya semua menjadi satu, sebagaimana didoakan oleh Tuhan “Ut omnes unum sint” (Yoh 17:21), namun kelompok-kelompok umat semacam itu tumbuh subur bagai jamur di awal musim hujan. Menyaksikan berseraknya kelompok-kelompok umat semacam itu di mana-mana, Ia tetap saja sederhana dan rendah hati, hadir dalam hosti kecil, tersimpan dalam tabernakel.
Ia tetap saja sederhana dan rendah hati, sungguh hadir dalam hosti kecil, tersimpan dalam tabernakel. Dengan cara sederhana dan rendah hati Allah yang Kudus mewujudkan kehadiran-Nya, menyatakan jati diri-Nya terus menerus bahwa Dia adalah Allah beserta kita, namanya Imanuel. Penyertaan-Nya diwujudkan dalam rupa sederhana, hosti kecil, tersimpan dalam tabernakel. Yang abadi berdiam dalam ruang dan waktu yang terbatas, agar manusia menjadi kuat sepanjang hidupnya untuk menapaki jalan-jalan di bumi ini, karena hosti itu roti kehidupan yang menjadi makanan sehari-hari selama perjalanan hidup manusia. Sungguh mengagumkan! Hamba yang hina dina makan Tuannya. O res mirabilis! Manducat Dominum pauper servus et humilis!
Ia tetap saja sederhana dan rendah hati, sungguh hadir dalam hosti kecil, tersimpan dalam tabernakel. Firman-Nya telah menjadi manusia, dan diam di antara kita (bdk. Yoh 1:14). Firman-Nya mencerahkan hati kita, membuka mata kita, agar kita mampu juga melihat bahwa dalam diri saudari-saudara kita yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir, Ia pun hadir. Bila demikian, kita akan terjaga jangan sampai kepedulian kita kepada yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir jatuh ke dalam aktivisme filantropis belaka, akan tetapi bersumber dan bermuara pada pengalaman akan kehadiran Yesus dalam diri mereka. Dalam kesadaran ini dapat kita fahami betul firman-Nya, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25:40) Dengan demikian Ia menyamakan diri-Nya dengan yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir.
Ia tetap saja sederhana dan rendah hati, sungguh hadir dalam hosti kecil, tersimpan dalam tabernakel. Langit dan bumi akan lenyap, tetapi firman-Nya kekal abadi. Dalam roti Ekaristi Ia menunggu kedatangan kita. Firman-Nya berkumandang sepanjang masa, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan." (Mat 11:28-30) Firman itu dibisikkan dalam hati manusia, dalam keheningan. Bukan dalam hiruk pikuk dan hingar bingar pengeras suara, yang dapat mengaburkan dan bahkan membungkam suara yang berasal dari sumbernya. Firman itu dibisikkan dalam keheningan, agar bukan suara kita sendiri atau suara pengkhotbah yang kita dengarkan, tetapi agar suara-Nya dapat kita dengar dengan jelas, supaya meresap dalam lubuk hati kita, dan mengubah hati kita menjadi sederhana dan rendah hati, seperti hati-Nya.
Firman-Nya yang kekal abadi itu kita dengar sekarang ini juga, “Marilah kepada-Ku!” Karena itu, marilah kita tanggapi ajakan Sang Penebus, Sahabat Sejati, agar kita datang kepada-Nya, bersembah sujud di hadapan-Nya, yang sungguh hadir dalam hosti kecil, tetap saja sederhana dan rendah hati. Adorasi Ekaristi, bersembah sujud di hadapan Ekaristi Sakramen Mahakudus dapat kita jadikan kesempatan untuk mengalami keabadian kerahiman ilahi-Nya dalam ruang dan waktu kita yang terbatas. Hanya demi kemuliaan-Nya saja, tanpa perhitungan untung atau rugi di pihak kita.
0 comments:
Posting Komentar